Senin, 04 Oktober 2010

Senggenggam Biji Padi - 4 Sikap Manusia dalam menerima Dhamma

Senggenggam Biji Padi - Sikap dalam menerima Dhamma


Alkisah pada suatu ketika seorang anak petani bermain-main dengan segenggam benih padi. Anak ini kemudian bermain di sebuah jalan aspal yang membelah sebuah lahan pertanian yang sangat subur milik ayahnya. Kemudian dilemparnya semua benih padi dalam genggamannya ke atas. Maka berhamburlah benih padi yang siap tanam tadi ketika terbawa angin di udara. Ketika berhamburan inilah kemudian benih padi tersebut jatuh di tempat yang berbeda.

Pertama, ada sebagian biji padi ini kemudian jatuh di atas jalan keras yang beraspal. Benih ini tentunya tidak akan tumbuh dan berbuah di atas jalan aspal yang keras. Lalu kemudian benih ini dilindas mobil atau dimakan burung-burung. Sangat disayangkan benih ini tersia-siakan.

Kedua, ada sebagian lagi kemudian terjatuh di atas bebatuan yang bercampur sedikit tanah di tepi jalan aspal ini. Benih ini kemudian tumbuh karena masih ada sedikit tanah di sana. Tetapi karena kondisi tanah yang sedikit dan berbatu ini, maka akarnya tidak bisa menembus kerasnya batu sehingga kemudian tanaman padi ini tidak tumbuh dengan baik dan akhirnya mati sebelum besar.

Ketiga, sebagian lagi jatuh di sepanjang tepi jalan yang penuh dengan ilalang dan semak semak. Karena tanah yang subur, maka benih padi ini kemudian bertumbuh dengan lebih baik. Bahkan akarnyapun mampu menembus cukup kuat ke dalam tanah. Maka tumbuhlah tanaman padi hingga dewasa. Tetapi tumbuhan ini kemudian tumbuh dengan kurang baik, bahkan tidak mampu menghasilkan bulir padi karena kekurangan makanan sebab harus bersaing dengan ilalang dan semak belukar yang lebih banyak. Meskipun tumbuh dan berkembang tetapi karena kekurangan makanan maka akhirnya tanaman padi inipun mati tanpa menghasilkan bulir padi.

Keempat, sebagian lagi tersebar di atas petak sawah yang siap tanam. Karena tanah yang subur maka benih padi ini bertumbuh menjadi tanaman padi. Tanaman padi inipun kemudian tumbuh menjadi sangat subur dan menghasilkan bulir padi yang cukup besar dan sehat. Hal ini disebabkan semua nutrisi dalam tanah hanya dipakai untuk menumbuhkan tanaman padi ini.

Demikianlah kisah perjalanan segenggam benih padi yang jatuh pada berbagai kondisi dan mengakibatkan berbagai hasil yang berbeda-beda. Bayangkan benih padi yang ditebarkan tersebut adalah Buddha Dhamma yang diajarkan dan dibabarkan di depan banyak orang. Kemudian keempat kondisi di atas menggambarkan kondisi dan sikap seseorang dalam menerima Buddha Dhamma. Marilah kita amati bersama persamaan yang mungkin bisa mewakili empat sikap manusia dalam menanggapi Buddha Dhamma yang diajarkan kepadanya.

Pertama, adalah kondisi orang yang sama sekali tidak menyakini akan kebenaran dan manfaat dari kebaikan yang diajarkan. Hati orang seperti ini ibarat jalanan aspal yang keras dan tidak akan mungkin menjadikan Dhamma tumbuh di dalamnya. Dhamma yang diajarkan kepada orang yang tidak yakin, akan tidak dapat dicerna oleh orang tersebut. Hal ini disebabkan karena ketidakyakinan dan adanya sikap menolak dalam dirinya. Bahkan seringkali sikap yang ditampilkan adalah sikap yang meremehkan keberadaan Buddha Dhamma. Oleh karena itulah Dhamma yang disampaikan pada orang yang tidak menyakini Buddha Dhamma, akan disia-siakan olehnya dan tidak akan menimbulkan bekas apapun dalam diri orang tersebut.

Kedua, adalah kondisi orang yang meskipun keyakinan yang cukup atas kebenaran Buddha Dhamma dalam dirinya tetapi belum bisa mempraktikkannya. Orang seperti ini seringkali mendengarkan
Buddha Dhamma dan merasa senang dengan keindahan dari apa yang diceritakan. Tetapi ketika diminta untuk melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari akan selalu mengatakan bahwa hal ini sulit dilaksanakan dalam kehidupan ini. Dhamma bagi mereka adalah sebuah keindahan yang bisa dimengerti tetapi sangat sulit untuk dijalankan. Orang yang mempunyai sikap seperti ini akan hanya meletakkan kebenaran Buddha Dhamma dalam pemenuhan ego pemikiran saja dan menjadikan Buddha Dhamma hanyalah sebagai sebuah hiburan intelektual. Atau sebagai hiburan ketika sedang mengalami masalah saja. Memang Buddha Dhamma seakan-akan tumbuh dalam dirinya tetapi sebenarnya Dhamma ini tidak dapat dipahaminya dengan baik. Mereka tidak akan pernah bersungguh-sungguh menjalankan dan membuktikannya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itulah maka orang seperti ini tidak akan mendapat manfaat Buddha Dhamma. Ini seperti akar tanaman padi yang tidak mampu menembus kerasnya hati yang tidak terbuka terhadap Dhamma. Orang seperti ini hanya akan membuka pikirannya saja terhadap Dhamma tetapi tidak mau membuka hatinya dalam menerima ajaran Buddha Dhamma.

Ketiga, adalah kondisi orang yang menyakini kebenaran Buddha Dhamma tetapi kurang bijaksana akibat masih tertutup `awan' egoisme. Kepercayaan dan keyakinan orang ini sangat kuat sehingga dia mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan merasakan manfaatnya, tetapi karena kurang bijaksana dalam menilai sebuah kebenaran, maka kemudian dia terperangkap dalam konsep-konsep kebenaran itu sendiri. Sehingga orang yang seperti ini kemudian memiliki pengertian yang salah dalam menerapkan Buddha Dhamma. Dalam pikirannya, banyak sekali konsep dan pengertian yang telah menyimpang dan dia tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Orang seperti ini akan selalu terikat oleh konsepsi pemikiran pertama yang diciptakan dan diyakininya sendiri akibat ego (ke-aku-annya). Bahkan dalam kasus yang paling parah dapat dilihat pada seorang yang fanatik. Seorang yang begitu mempercayai kebenaran yang diyakini kemudian berusaha mati-matian mempertahankan pengertiannya yang salah itu. Memang pada awalnya Dhamma ini berkembang dalam dirinya sampai akhirnya menimbulkan sebuah keyakinan yang cukup mendalam terhadap satu sisi kebenaran yang mampu dibuktikannya. Tetapi karena tidak hati-hati akhirnya dia terjebak dalam pemikiran yang mengandung Lobha, Dosa, dan Moha. Dan karena pemikiran ini lebih dominan sehingga Buddha Dhamma yang murni seakan-akan tenggelam dalam kesombongan pikirannya sendiri. Oleh karena itu maka akhirnya pengertiannya yang salah ini membuat orang tersebut terseret dalam semak-semak pemikiran yang ruwet, dan dia tidak akan mendapatkan kebenaran lain yang lebih tinggi.

Keempat, adalah kondisi orang yang memiliki keyakinan dan kebijaksanaan dalam mendengar, mengerti, memahami dan melaksanakan Buddha Dhamma. Karena pikirannya bersih dari semak-semak pikiran yang tidak benar maka Buddha Dhamma yang hadir dalam hatinya dapat diterima dengan jelas dan benar. Kekosongan lahan sawah yang ada ibarat kemurnian/kebersihan hati dan pikiran seseorang ketika mempelajari Buddha Dhamma. Sikap yang rendah hati dalam menerima sebuah ajaran Buddha Dhamma dengan mengakui dan mengetahui adanya semak dan ilalang pengertian salah dalam dirinya akan mengantarkan dia pada sikap yang selalu berusaha membersihkan pikirannya dari pengertian yang salah. Sama halnya dengan para petani yang selalu mencabut ilalang yang tumbuh di tengah tanaman padi mereka karena mengetahui bahwa semua ilalang ini tidak ada gunanya bagi mereka. Para petani akan bisa membedakan mana tanaman padi mana tanaman rumput ilalang sejak dari masih kecil. Kebijaksanaan ini tentunya didasari oleh pengetahuan yang benar. Dengan cara seperti inilah maka Buddha Dhamma akan berkembang dengan subur dalam diri kita. Dan dengan demikian pula maka kita akan dapat manfaat yang lebih banyak dalam kehidupan sehari-hari.

Belajar dari perjalanan segenggam benih padi ini, kita seharusnya mulai menilai sampai di manakah posisi kita sendiri dalam cerita di atas? Apakah masih sekeras jalan beraspal? ataukah selunak tanah sawah yang subur? Nilailah diri anda dengan kejujuran dan kerendahan hati sehingga anda bisa mempersiapkan diri anda menjadi sebuah lahan subur bagi bertumbuhnya Dhamma. Dan jadilah petani yang bijaksana yang berusaha menjaga agar lahan sawahnya tidak dikotori oleh benih ilalang yang tidak bermanfaat dan dapat menyebabkan benih padi kita tidak mampu berbuah. Semoga dengan mengetahui kondisi dan situasi dalam mengambil sikap terhadap Buddha Dhamma, kita semua bisa memperbaiki sikap kita dalam belajar.

Semoga dengan mengambil sikap yang tepat kita mampu menyelami dan mengenal Buddha Dhamma yang sesungguhnya. Semoga dengan ini kita bisa hidup lebih berbahagia.

Sumber: kisah buddhist group

Monyet dan kacang'y

Dari sebuah artikel menarik tentang teknik berburu monyet di hutan-hutan Afrika. Caranya begitu unik. Sebab, teknik itu memungkinkan si pemburu menangkap monyet dalam keadaan hidup-hidup tanpa cedera sedikitpun. Maklum, ordernya memang begitu. Sebab, monyet-monyet itu akan digunakan sebagai hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.

Cara menangkapnya sederhana saja. Sang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma. Tujuannya,agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.

Para pemburu melakukannya di sore hari. Besoknya, mereka tingal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan. Kok, bisa? Tentu kita sudah tahu jawabnya.

Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam. Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat. Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana !

Mungkin kita akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa sadar sebenamya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.

Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya.

Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun kita pergi. Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, kita sebenamya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.

Teman, sebenarnya monyet-monyet itu bisa selamat jika mau membuka genggaman tangannya.

Dan, kita pun akan selamat dari penyakit hati jika sebelum tidur kita mau melepas semua "rasa tidak enak" terhadap siapapun yang berinteraksi dengan kita. Dengan begitu kita akan mendapati hari esok begitu cerah dan menghadapinya dengan senyum. Dan, kita pun tahu surga itu diperuntukkan bagi orang-orang yang hatinya bersih.

Sumber: http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/2627.htm